“Kopi tubruk tuh kopi yang lugu, kopi yang sederhana, tapi kalo kita mengenal dia lebih dalam, dia akan
sangat memikat”, begitu kata Ben di Filosofi Kopi, sebuah film yang diadaptasi dari novel dengan judul sama yang dibintangi Chico Jericho dan Rio Dewanto. Lainnya, Klinik Kopi menjadi tempat saat Cinta menatap lurus mata Rangga dan melontarkan kalimat tajam “Yang kamu lakukan ke saya, itu jahat”, cuplikan scene epik film Ada Apa Dengan Cinta ke-2 (AADC2) yang dibintangi pasangan legendaris Nicholas Saputra dan Dian Sastro Wardoyo. Dua film yang menjadi penanda trend kopi mulai marak di kalangan milenial, di negeri zamrud khaarulistiwa, Indonesia.
Kopi nampaknya sudah menjadi gaya hidup anak-anak muda kelas menengah. Kedai kopi modern -coffe shopyang menyajikan variasi penyeduhan kopi tumbuh bak cendawan di musim hujan. Menurut Irwandi Said (2017)1 di Makassar, terdapat lebih dari 1.000 unit kedai kopi yang menjadi tempat nongkrong favorit warga kota.
Di Bantaeng, sebuah kota kecul berjarak 120 km ke arah selatan dari Makassar, anak-anak muda juga riuh mengunjungi kedai-kedai kopi yang menawarkan penyajian standar bar coffee dan memiliki interior yang instagramable, selain juga berjejal di warung-warung kopi tradisional yang menyajikan kopi tubruk dan kopi susu saja. Mr Box, Garasiku dan Cicip Kopi tampaknya menjadi latar dan titik lokasi eksistensi media sosial anak-anak muda di Bantaeng.
Biji kopi yang diseduh dan disesap anak-anak muda di kedai kopi dan Coffe Shop, sebagian berasal dari Desa Labbo. Sebuah Desa di ujung timur Bantaeng yang memilih pengakuan dan perlindungan Wilayah Kelola Rakyat melalui skema Hutan Desa. Hutan Desa Labbo mendapatkan SK Pengakuan Areal Kerja Hutan Desa dari menteri pada pada tahun 2010, dan SK Hak Pengelolan Hutan Desa dari Gubernur pada tahun yang sama. Hutan tersebut seluas 342 ha. 153 ha diantaranya merupakan zona agroforestri kopi yang digarap 170 keluarga petani.